Dan diriwayatkan dari Umar bin Khatab ra beliau
berkata, ‘hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan
berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan
bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang
menghisab dirinya di dunia. Dan diriwayatkan pula dari Maimun bin Mihran bahwa
ia berkata, seoarng hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya
sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits diatas, juga meriwayatkan ungkapan
Umar bin Khatab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari
muhasabah.
1.
Mengenai muhasabah, Umar ra mengemukakan :
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian
sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh
akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari
kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
2.
Sementara Maimun bin Mihran ra mengatakan :
‘Seorang hamba tidak diakatan
bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari
mana makanan dan pakaiannya’.
Seseorang tidak dikatakan bertakwa,
hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah
satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi
amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk
mendapatkan ridha Ilahi.
3.
Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang
kelak pada hari akhir akan dating menghadap Allah SWT dengan kondisi
sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah
SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an : “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada
Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam/ 19 : 95)
Setiap manusia akan dimintai
pertanggung jawaban atas segala amal perbuatan yang telah dilakukannya secara
sendiri-sendiri. Dan seringkali manusia melupakan hal ini, sementara semakin
hari semakin dekat antara dirinya dengan hisab tersebut. Allah SWT berfirman :
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka
berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS. Al-Anbiya’/ 21 : 1).
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
(Dievaluasi)
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi
oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai & sukses ( الكيس )
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits di atas, diantaranya
yaitu :
1. Aspek Ibadah ( الجانب التبعدي )
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim
adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia
di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56). Artinya ibadah merupakan tugas
& pekerjaan utama manusia dalam menjalani kehidupannya.
Oleh karenanya, sepatutnya aspek ibadah menjadi
perhatian utama evaluasi bagi manusia. Evaluasi aspek ibadah ini, mencakup dua
hal ; ibadah yang wajib dan ibadah yang sunnah.
a. Ibadah wajib.
Ibadah wajib adalah ibadah yang tidak bisa tidak,
harus dikerjakan oleh setiap muslim. Minimal sekali adalah ibadah yang terdapat
dalam rukun Islam; shalat, puasa, zakat dan juga haji. shalat berdasarkan
hadits Nabi Muhammad SAW merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab oleh
Allah SWT pada hari akhir ;
Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari
seroang hamba adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka sungguh ia beruntung
dan sukses. Namun jika shalatnya fasad (rusak/ cacat) maka sungguh ia akan
menyesal dan merugi. (HR. Nasa’i)
Dalam hadits lain tentang muflis (orang yang
bangkrut), dikatakan oleh Rasulullah SAW bahwa orang yang muflis didatangkan
kehadapan Allah SWT dengan amalan shalat, puasa dan zakat, namun juga membawa
‘dosa’ suka mencela, menuduh, memukul, memakan harta orang lain dsb:
‘Orang yang bangkrut dari umatku di hari kiamat
adalah orang yang datang dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga
datang dengan membawa (dosa) mencela kehormatan orang lain, menuduh orang lain,
memakan harta orang lain dan memukul orang lain.(HR. Muslim)
Hadits di atas menggambarkan bahwa pada hari
akhir kelak, yang pertama kali dimintai pertanggung jawaban adalah
ibadah-ibadah fardhu terlebih dahulu, seperti shalat, puasa dan zakat. Baru
kemudian setelah itu amaliyah-amaliyah yang lain. Belum lagi hadits-hadits lain
yang menggambarkan tentang urgensi ibadah-ibadah fardhu.
Kaitannya dengan muhasabah, bahwa setiap musim
harus berusaha untuk meningkatkan amal ibadah fardhunya. Mulai dari niat,
tatacara, pelaksanaan, penghayatan, pemberian dampaknya dalam kehidupan,
kontinyuitas dsb. Peningkatan tersebut harus didasarkan pada evaluasi dirinya
atas ibadah fardhu yang telah dilakukannya. Apa kekurangan & kelemahan
dalam pelaksanaannya. Apa pula faktor-faktor yang selama ini dapat meningkatkan
kualitas ibadah tersebut, dsb.
Pada intinya perlu dijaga, agar jangan sampai
amaliyah ibadah fardhu ini menjadi berkurang dan memiliki cacat dalam
pelaksanaannya. Karena cacatnya amaliyah ini, akan berdampak pada cacatnya
amaliyah lainnya. Sehingga peningkatan pada aspek ini sangat mutlak diperlukan.
b. Ibadah sunnah
Ibadah sunnah juga tidak kalah pentingnya dengan
ibadah fardhu. Karena ibadah sunnah akan menjadi penyempurna bagi ibadah fardu.
Bahkan ulama mengatakan bahwa salah satu indikasi kesempurnaan keimanan seorang
mu’min adalah kelanggengannya dalam melaksanakan ibadah sunnah.
Rasulullah SAW sendiri memberikan porsi dalam
aspek ini dengan begitu besarnya. Perhatikan saja sebagaimana yang diakatakan
Aisyah, bahwa beliau SAW shalat malam hingga kedua kakinya bengkak-bengkak.
(HR. Bukhari Muslim)
Kemudian bagaimana beliau berpuasa sunnah,
dzikrullah, tilawah Al-Qur’an, infak shadaqah, berbuat ihsan, dsb. Kesemuanya
menggambarkan betapa aspek ini sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW dan juga
para sahabatnya.
Evaluasi dalam ibadah sunnah sangat penting,
karena terkadang karena sifatnya yang hanya ‘sunnah’, seringkali pelaksanaannya
terabaikan. Sementara urgensi ibadah sunnah ini sangat signifikan dalam
peningkatan ketakwaan dan ketaqurruban seseorang kepada Allah SWT serta dalam
menjaga keistiqamahan. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah bersabda:
‘Segeralah melakukan amal shaleh, sebab akan
terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yagn sangat gulita. Ketika itu
seseorang beriman pada pagi hari, sementara pada sore harinya ia kufur kepada
Allah SWT. Dan pada sore hari seseorang beriman, sementara pagi harinya ia
kufur kepada Allah SWT. Ia menukar agamanya demi sedikit keuntungan duniawi.”
(HR. Muslim)
Secara tersurat hadits ini menggambarkan mengenai
sifat dari amal shaleh (yang unsur terpentingnya adalah ibadah sunnah), akan
menjaga keimanan, terhindar dari fitnah serta menjaga keistiqamahan. Karena
tantangan & fitnah di ‘luar’ demikian besarnya. Sesuatu yang haq, bisa
diputarbalikkan menjadi seolah-olah batil, demikian juga sebaliknya.
Dari sini tampak jelas, urgensitas dari ibadah
sunnah tersebut. Karena ‘cacatnya’ perhatian pada ibadah sunnah, akan berakibat
pada hilangnya ‘kestabilan’ iman, mudah terperdaya dengan fitnah, bahkan
terseret pada jurang kehinaan (na’udzubillah min dzalik).
Sektor terpenting dari ibadah sunnah yang perlu
dievaluasi diantaranya adalah pada aspek qiyamul lail, shalat dhuha, shaum
sunnah, tilawatul qur’an, dzikrullah, infaq shadaqah, dzikrul maut, dsb.
Sedangkan bentuk evaluasinya sama sebagaimana evaluasi pada ibadah ibadah
fardhu.
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب
العملي والتكسبي )
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau
bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena
sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan
pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda :
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad SAW bahwa
beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat,
hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa
mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya &
kemana dibelanjakannya & ilmunya sejauh mana pengamalannya?’ (HR. Turmudzi)
Hadits di atas menggambarkan tentang akibat dari
melalaikan unsur perolehan harta. Bahwa seseorang tidak akan bergerak kedua
tapak kakinya di akhirat kelak, hingga ia ditanya tengan 5 hal, diantaranya
tentang sumber penghasilannya. Senada dengan hadits tersebut, Allah SWT
sesungguhnya telah mewanti-wanti agar jangan seseorang memakan atau mencari
harta dengan cara yang bathil:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.
Annisa/ 4 : 29)
Imam As-Suyuti ketika menjelaskan tentang memakan
harta dengan cara batil, beliau menafsirkannya dengan ( بطريق غير مشروع مخالف
حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan bertentangan
dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha, yang substansi
pekerjaannya, cara pelaksanaannya, mekanismenya dan sistemnya tidak syar’i dan
bertentangan dengan hukum Islam, maka itu adalah batil.
Pada intinya, semua pekerjaan dan sumber
penghasilan yang telah didapatkannya, harus dievaluasi kembali. Apakah semuanya
sudah jelas kehalalannya? Ataukah masih terdapat hal-hal yang berbau syubhat
dan keharaman?
Jika dalam evaluasi terdapat satu sumber
penghasilan yang mengandung keharaman, maka harus segera ditinggalkan,
kendatipun besarnya penghasilan dari aspek tersebut. Misalnya dari bunga bank,
investasi ribawi (obligasi, pasar uang, pasar modal non syariah), MLM yang
tidak sesuai dengan syariah, klaim dari asuransi non syariah, pemberian yang
terkait dengan jabatan & kedudukannya, dsb.
3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman ( الجانب
الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi
adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab
dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting,
sebagaimana yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang bangkrut
dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat,
puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela,
memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang
tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala
kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa
mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api
neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang
muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Datang ke
akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan
dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan
interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh,
memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala
kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk
menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya
tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa,
selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah
min dzalik.
Oleh karenanya, hendaknya aspek ini dievaluasi.
Bagaiamana selama ini kita bersosialisasi dengan masyarakat, bergaul dengan
tetangga, beraktivitas dengan teman kerja, berakhlak di jalan raya, dsb? Jika
terdapat aib atau cacat di sana, maka perbaikilah.
4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk
dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik,
ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada
kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah,
mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial
pada evaluasi aspek da’wah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana
pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat
dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’
dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu da’wah itu
sendiri.
Evaluasi pada bidang da’wah ini jika dibreakdown
dalam setiap sektor, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah
dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi da’wah dalam bidang da’wah
‘ammah, evaluasi da’wah dalam bidang siyasi, evaluasi da’wah dalam bidang
iqtishadi, dsb?
Pada intinya, da’wah harus dievaluasi, agar
harakah da’wah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada
sektor lain yang jauh dari nilai-nilai da’wah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat
ini menjadi bahan evaluasi bagi da’wah yang sama-sama kita lakukan :
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf/ 12 : 108)
Penutup
Evaluasi dapat dilakukan setiap hari, setiap
pekan, setiap bulan, tri wulan, smeseter, tahunan, lima tahunan, sepuluh
tahunan, dua puluh tahunan, dua puluh lima tahunan, dan seterusnya tergantung
kebutuhan. Yang terbaik adalah evaluasi dalam segala kesempatan dimana kita
dapat mengevaluasi.
Imam Syahid Hasan Al-Banna menyarankan agar kita
mengevaluasi secara harian terhadap amal ibadah yang dilakukan secara harian
pula. Karena diantara hikmahnya, agar setiap amal harian kita terstruktur
dengan baik dan agar keesokan harinya kita bisa beramal lebih baik dari yang
diamalkan hari ini atau hari kemarin. Namun evaluasi harian saja tidak akan
cukup, tanpa adanya evaluasi pekanan. Evaluasi pekananpun tidak akan sempurna
tanpa evaluasi bulalan. Dan evaluasi bulanan juga tidak akan berarti banyak
tanpa evaluasi tahunan.
Evaluasi akan menentukan kembali arah yang akan
dituju. Evaluasi juga akan membentuk seperti apa kita akan menjadikan diri
kita. Dan evaluasi juga akan menjadikan format hidup kita lebih teratur dan
pastinya lebih baik. Akhirnya marilah kita mengevaluasi masing-masing diri kita
sendiri. Allah SWT berfirman “Dan untuk yang demikian itu, hendaklah
orang-orang saling berlomba.” (QS. Al-Mutaffifin/ 83 : 26)
Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag
Sumber:
http://www.eramuslim.com/peradaban/tafsir-hadits/nilai-muhasabah.htm#.UsC870pZi3o
http://www.eramuslim.com/peradaban/tafsir-hadits/nilai-muhasabah.htm#.UsC870pZi3o
Niceeee =)
BalasHapushatur nuhun..^^
Hapus