Minggu, 29 Desember 2013

Tahun Baru : Momentum Perbaikan Diri

Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT. (Imam Turmudzi) berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan, dan makna sabda Rasul SAW ( دان نفسه ) adalah ( حاسب نفسه في الدنيا قبل أن يحاسب يوم القيامة ) ‘orang yang menghisab (mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’
Dan diriwayatkan dari Umar bin Khatab ra beliau berkata, ‘hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia. Dan diriwayatkan pula dari Maimun bin Mihran bahwa ia berkata, seoarng hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya.

Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits diatas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khatab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1.      Mengenai muhasabah, Umar ra mengemukakan :
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
2.      Sementara Maimun bin Mihran ra mengatakan :
‘Seorang hamba tidak diakatan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi. 
3.    Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan dating menghadap Allah SWT dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an : “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam/ 19 : 95)
Setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas segala amal perbuatan yang telah dilakukannya secara sendiri-sendiri. Dan seringkali manusia melupakan hal ini, sementara semakin hari semakin dekat antara dirinya dengan hisab tersebut. Allah SWT berfirman : “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS. Al-Anbiya’/ 21 : 1).

Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi (Dievaluasi)
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai & sukses ( الكيس ) sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits di atas, diantaranya yaitu :

1. Aspek Ibadah ( الجانب التبعدي )
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56). Artinya ibadah merupakan tugas & pekerjaan utama manusia dalam menjalani kehidupannya.
Oleh karenanya, sepatutnya aspek ibadah menjadi perhatian utama evaluasi bagi manusia. Evaluasi aspek ibadah ini, mencakup dua hal ; ibadah yang wajib dan ibadah yang sunnah.
a. Ibadah wajib.
Ibadah wajib adalah ibadah yang tidak bisa tidak, harus dikerjakan oleh setiap muslim. Minimal sekali adalah ibadah yang terdapat dalam rukun Islam; shalat, puasa, zakat dan juga haji. shalat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab oleh Allah SWT pada hari akhir ;
Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari seroang hamba adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka sungguh ia beruntung dan sukses. Namun jika shalatnya fasad (rusak/ cacat) maka sungguh ia akan menyesal dan merugi. (HR. Nasa’i)
Dalam hadits lain tentang muflis (orang yang bangkrut), dikatakan oleh Rasulullah SAW bahwa orang yang muflis didatangkan kehadapan Allah SWT dengan amalan shalat, puasa dan zakat, namun juga membawa ‘dosa’ suka mencela, menuduh, memukul, memakan harta orang lain dsb:
‘Orang yang bangkrut dari umatku di hari kiamat adalah orang yang datang dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) mencela kehormatan orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain dan memukul orang lain.(HR. Muslim)
Hadits di atas menggambarkan bahwa pada hari akhir kelak, yang pertama kali dimintai pertanggung jawaban adalah ibadah-ibadah fardhu terlebih dahulu, seperti shalat, puasa dan zakat. Baru kemudian setelah itu amaliyah-amaliyah yang lain. Belum lagi hadits-hadits lain yang menggambarkan tentang urgensi ibadah-ibadah fardhu.
Kaitannya dengan muhasabah, bahwa setiap musim harus berusaha untuk meningkatkan amal ibadah fardhunya. Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan, penghayatan, pemberian dampaknya dalam kehidupan, kontinyuitas dsb. Peningkatan tersebut harus didasarkan pada evaluasi dirinya atas ibadah fardhu yang telah dilakukannya. Apa kekurangan & kelemahan dalam pelaksanaannya. Apa pula faktor-faktor yang selama ini dapat meningkatkan kualitas ibadah tersebut, dsb.
Pada intinya perlu dijaga, agar jangan sampai amaliyah ibadah fardhu ini menjadi berkurang dan memiliki cacat dalam pelaksanaannya. Karena cacatnya amaliyah ini, akan berdampak pada cacatnya amaliyah lainnya. Sehingga peningkatan pada aspek ini sangat mutlak diperlukan.
b. Ibadah sunnah
Ibadah sunnah juga tidak kalah pentingnya dengan ibadah fardhu. Karena ibadah sunnah akan menjadi penyempurna bagi ibadah fardu. Bahkan ulama mengatakan bahwa salah satu indikasi kesempurnaan keimanan seorang mu’min adalah kelanggengannya dalam melaksanakan ibadah sunnah.
Rasulullah SAW sendiri memberikan porsi dalam aspek ini dengan begitu besarnya. Perhatikan saja sebagaimana yang diakatakan Aisyah, bahwa beliau SAW shalat malam hingga kedua kakinya bengkak-bengkak. (HR. Bukhari Muslim)
Kemudian bagaimana beliau berpuasa sunnah, dzikrullah, tilawah Al-Qur’an, infak shadaqah, berbuat ihsan, dsb. Kesemuanya menggambarkan betapa aspek ini sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW dan juga para sahabatnya.
Evaluasi dalam ibadah sunnah sangat penting, karena terkadang karena sifatnya yang hanya ‘sunnah’, seringkali pelaksanaannya terabaikan. Sementara urgensi ibadah sunnah ini sangat signifikan dalam peningkatan ketakwaan dan ketaqurruban seseorang kepada Allah SWT serta dalam menjaga keistiqamahan. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah bersabda:
‘Segeralah melakukan amal shaleh, sebab akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yagn sangat gulita. Ketika itu seseorang beriman pada pagi hari, sementara pada sore harinya ia kufur kepada Allah SWT. Dan pada sore hari seseorang beriman, sementara pagi harinya ia kufur kepada Allah SWT. Ia menukar agamanya demi sedikit keuntungan duniawi.” (HR. Muslim)
Secara tersurat hadits ini menggambarkan mengenai sifat dari amal shaleh (yang unsur terpentingnya adalah ibadah sunnah), akan menjaga keimanan, terhindar dari fitnah serta menjaga keistiqamahan. Karena tantangan & fitnah di ‘luar’ demikian besarnya. Sesuatu yang haq, bisa diputarbalikkan menjadi seolah-olah batil, demikian juga sebaliknya.
Dari sini tampak jelas, urgensitas dari ibadah sunnah tersebut. Karena ‘cacatnya’ perhatian pada ibadah sunnah, akan berakibat pada hilangnya ‘kestabilan’ iman, mudah terperdaya dengan fitnah, bahkan terseret pada jurang kehinaan (na’udzubillah min dzalik).
Sektor terpenting dari ibadah sunnah yang perlu dievaluasi diantaranya adalah pada aspek qiyamul lail, shalat dhuha, shaum sunnah, tilawatul qur’an, dzikrullah, infaq shadaqah, dzikrul maut, dsb. Sedangkan bentuk evaluasinya sama sebagaimana evaluasi pada ibadah ibadah fardhu.

2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya & kemana dibelanjakannya & ilmunya sejauh mana pengamalannya?’ (HR. Turmudzi)
Hadits di atas menggambarkan tentang akibat dari melalaikan unsur perolehan harta. Bahwa seseorang tidak akan bergerak kedua tapak kakinya di akhirat kelak, hingga ia ditanya tengan 5 hal, diantaranya tentang sumber penghasilannya. Senada dengan hadits tersebut, Allah SWT sesungguhnya telah mewanti-wanti agar jangan seseorang memakan atau mencari harta dengan cara yang bathil:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa/ 4 : 29)
Imam As-Suyuti ketika menjelaskan tentang memakan harta dengan cara batil, beliau menafsirkannya dengan ( بطريق غير مشروع مخالف حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan bertentangan dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha, yang substansi pekerjaannya, cara pelaksanaannya, mekanismenya dan sistemnya tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu adalah batil.
Pada intinya, semua pekerjaan dan sumber penghasilan yang telah didapatkannya, harus dievaluasi kembali. Apakah semuanya sudah jelas kehalalannya? Ataukah masih terdapat hal-hal yang berbau syubhat dan keharaman?
Jika dalam evaluasi terdapat satu sumber penghasilan yang mengandung keharaman, maka harus segera ditinggalkan, kendatipun besarnya penghasilan dari aspek tersebut. Misalnya dari bunga bank, investasi ribawi (obligasi, pasar uang, pasar modal non syariah), MLM yang tidak sesuai dengan syariah, klaim dari asuransi non syariah, pemberian yang terkait dengan jabatan & kedudukannya, dsb.

3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman ( الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
Oleh karenanya, hendaknya aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita bersosialisasi dengan masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas dengan teman kerja, berakhlak di jalan raya, dsb? Jika terdapat aib atau cacat di sana, maka perbaikilah.

4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek da’wah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu da’wah itu sendiri.
Evaluasi pada bidang da’wah ini jika dibreakdown dalam setiap sektor, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi da’wah dalam bidang da’wah ‘ammah, evaluasi da’wah dalam bidang siyasi, evaluasi da’wah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, da’wah harus dievaluasi, agar harakah da’wah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai da’wah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi da’wah yang sama-sama kita lakukan : Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf/ 12 : 108)

Penutup
Evaluasi dapat dilakukan setiap hari, setiap pekan, setiap bulan, tri wulan, smeseter, tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan, dua puluh tahunan, dua puluh lima tahunan, dan seterusnya tergantung kebutuhan. Yang terbaik adalah evaluasi dalam segala kesempatan dimana kita dapat mengevaluasi.
Imam Syahid Hasan Al-Banna menyarankan agar kita mengevaluasi secara harian terhadap amal ibadah yang dilakukan secara harian pula. Karena diantara hikmahnya, agar setiap amal harian kita terstruktur dengan baik dan agar keesokan harinya kita bisa beramal lebih baik dari yang diamalkan hari ini atau hari kemarin. Namun evaluasi harian saja tidak akan cukup, tanpa adanya evaluasi pekanan. Evaluasi pekananpun tidak akan sempurna tanpa evaluasi bulalan. Dan evaluasi bulanan juga tidak akan berarti banyak tanpa evaluasi tahunan.
Evaluasi akan menentukan kembali arah yang akan dituju. Evaluasi juga akan membentuk seperti apa kita akan menjadikan diri kita. Dan evaluasi juga akan menjadikan format hidup kita lebih teratur dan pastinya lebih baik. Akhirnya marilah kita mengevaluasi masing-masing diri kita sendiri. Allah SWT berfirman “Dan untuk yang demikian itu, hendaklah orang-orang saling berlomba.” (QS. Al-Mutaffifin/ 83 : 26)

Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Sumber: 
http://www.eramuslim.com/peradaban/tafsir-hadits/nilai-muhasabah.htm#.UsC870pZi3o

2 komentar: